Yes, aku pernah girls. Bahkan sampe sekarang justru keluarga ini faktor insecurity terbesar buat aku. Aku skg uda cuek bgt sama kata orang lain, tp tidak buat keluarga.. Hmmm gimana ya, mungkin karena keluarga adalah supporter terbesar kita, sekaligus org tersayangnya kita, sehingga kalo yg ngomong adalah orang yg kita sayang kan pasti lgsg masuk banget ke hati kan.... Meski aku uda mencintai diriku apa adanya, tp kalo keluargaku belum, yaaaaa gimana, Susah buat dibikin cuek kalo dari sisi yg ini... Ada yg punya pengalaman sama ?? Share yukk, sapa tau ada solusi

aku sering diomongin cungkring/kerempeng/cacingan dan kata-kata berkonotasi negatif lainnya. tapi alhamdulillah sejauh ini nggak bikin aku insecure karena aku tau aku memang kurus dan aku orangnya cuek, jadi ya bodo amat gitu. kalau 'candaan' mereka udah terasa nyebelin, biasanya aku pasang headset depan mereka dan puter musik kenceng-kenceng biar mereka tau aku nggak dengerin mereka. i know it's kinda impolite, tapi itu caraku melindungi diri, suka nggak suka. kalau kamu merasa susah untuk cuek, mungkin kamu bisa bikin batasan fisik, misah tempat tinggal. dengan gitu kamu nggak denger omongan mereka tiap hari dan bisa ciptain privasi, jadi mereka nggak bisa komentarin kamu sesuka hati. apapun itu, kamu adalah kamu, bukan komentar yang mereka berikan ke kamu ❤️

I was there and so many people were there and still in the same position atau lagi struggling untuk lepas dari itu. Ikatan keluarga itu kuat, tapi saking kuatnya bisa menghancurkan keberadaan (eksistensi diri) sendiri. Tidak semua keluarga (ortu, relatives) punya background / value yang benar dalam hidup, some of them really know what to do, but some people just follow without knowing why (ini yang namanya myth / ritual / value turun temurun / habit). Yang dilakukan bagus, baik, tujuan baik, atau kelihatan baik, hehehe...Makin ke sini, makin tahu bahwa banyak orang di sekitar kita unsconsciously didn't know what they're doing karena keluarnya dari kebiasaan reaktif (daging, ngga pake mikir, asal nyablak) dan bukan respon (dimana butuh waktu utk tahu kapan waktu yg tepat, kata2 yang dipilih, nada bicara, dsb), sampai akhirnya kalo orang memahami bahwa setiap manusia itu berproses, namanya proses pasti ada naik turun dan jatuh bangun, dan jatuh itu it's okay, to feel not okay is okay, it's normal maka "unsolicited advice" / komentar2 ngga enak itu ngga muncul lagi karena hal2 yang membuat insecure, condemned, judged ngga ada lagi. Karakter dibentuk bukan dari keluarga, karena setiap dari kita berdiri sendiri2 nantinya. Perlu belajar pelan2 untuk renewal of mind, perubahan pikiran. Pandangan keluarga menurut kamu dan mereka itu bisa beda, dan beda itu tidak apa2, tapi karena konformitas di Indonesia kadang besar, merasa bersalah/ngga enak kl beda, tapi sebagai individu yg berproses dan belajar untuk mengenal seperti apa kamu ingin diperlakukan dan memperlakukan. Shadow seseorang/keluarga itu bisa menahun sifatnya di dalam diri kita, dan butuh waktu yang lama kalo sudah nempel lama. Kalo kita berdiri lalu shadow-nya bukan punya kita what's the point? Ini yang ngga mudah, karena keluarga, tapi ini berlaku untuk siapapun lho, karena insecurity ini keluar dari kita di masa peralihan antara mengganti shadow keluarga dengan shadow kita sendiri. Mau seperti apa sih kamu diperlakukan, bagaimana cara penyampaiannya, ngga mudah dan pasti kan banyak tantangan, karena unsconsciouly juga orang tidak suka dengan perubahan, makanya spontan ada yang suka nyeletuk "kok kamu berubah sih sekarang?" ...Iya donk kita perlu berubah, membangun diri jadi lebih baik, yang kasih komentar sudah menunjukkan proyeksi dirinya, hidupnya mungkin stagnan dan sudah puas dengan gitu2 aja jadi gaslighting malah bikin kita merasa bersalah "Oh, gue berubah ya, jadi gue salah ya..."...cari fondasi yang tepat dan kuat di setiap tindakan kita dan ini prosesnya life time. Kumpul sama teman dan saudara yang membangun, ngga kasar, ngga tukang bully karena setiap dari kita berharga dan layak diperlakukan baik kok. Family is not a family sometimes kalo mereka ngga sadar juga sudah terpenjara dengan value, culture, habit yang salah. Melepas value keluarga itu paling sulit, apalagi kalo yang ngga bagus dan itu memenjarakan kita.. tapi ketika kamu tahu seperti apa kebenaran sejatinya (bukan berdasar manusia lagi), maka ini akan membebaskanmu. Ini akan ngefek sampai dengan siapa kamu akan berelasi, menjalin hubungan serius. Ketika kita ngga sadar kita layak dan berharga, kita jadi ngga bisa kumpul dg mereka yg membuat kita layak dan berharga karena kita sendiri rupanya salah ditempatkan dan menempatkan diri. Contoh : penggunaan istilah keras kepala, ngga bisa diatur, dsb itu punya sounds good to some people...mereka pikir menyatakan kebenaran yang sejujurnya, tapi mereka yg ngomong mungkin belum kenal / ngga mau kenal istilah pendiriannya kuat dan tahu apa yang dimau. Pilih dikatain yang mana kalo bisa pilih? Pasti yg kedua donk, karena walaupun sama2 dikatain tapi isinya membangun dan enak didengar kan. Jadi punya hikmat itu somehow jauh lebih penting dari segalanya. Meanwhile melepas shadow apapun itu, it takes a process and it's okay to make a mistake. Mistake is a part of learning journey not the end of the world.

Dulu aku waktu jerawatan parah dr yg ga pernah jerawatan aku insecure sm omongan keluarga ku sih kak. Aku ga pernah perduli waktu itu sm omongan orang, tp kalau keluarga ku sendiri aku bisa sampe nangis, padahal mereka tau aku lg usaha. Tp setelah deep talk ngomong dr hati ke hati keluarga ku setelah itu udh ga pernah komentarin apa2 tentang kulit ku, smpe skrg bisa sembuh

Pasti sis tau dong toxic relationship. Menurutku yg lucu sekaligus gk lucu adalah kenyataan bahwa toxic relationship terbesar justru banyak datangnya dari orang2 terdekat. Percaya gk percaya, suka gk suka kebanyakan itu benar adanya. Justru krna kita sayang sama mereka kita ambil dalem2 omongan mereka, padahal jauhhh di dalam hati kita, kita realize bahwa gk semua yg mereka blg tentang kita itu benar. Yg paling tau kita ya cuma diri kita sendiri. So best thing to say thank you supportnya pada mereka, tapi tetap semua barriernya kita yg atur, mana yg musti kita ambil masukan baiknya, mana yg kyaknya justru malah jd toxic buat kita. Dan bener yg km blg mereka hanya supporter, pemberi ide, masukan. Tapi semua keputusan untuk diri kita, kita yg pilih, kita yg atur, kita yg handle dan kita yg bertanggung jawab dgn apapun pilihannya. Especially when we are old enough to earn living for ourselves, bukan jd gk respect ke mereka beda lho ya. Kita tetap dengarkan masukan mereka, hanya saja our mental health skrg jauh lebih musti diperhatikan. Good luck.