anxiety triggered by rejection

Question

sy ingin sharing ttg anxiety yg saya derita. sy didiagnosa memiliki anxiety yg berlebihan. terasa saat saya berada di bawah dtekanan pekerjaan, kondisi lingkungan keluarga yg tidak ideal, kondisi pertemanan yg tidak baik. hal sekecil apapun bisa menjadi trigger munculnya anxiety ini. saya merasa menjadi teman dan keluarga yg sangat posesif, mudah overthinking bahkan sering jadi negatif thinking. awalnya terasa biasa saja, namun lama2 saya merasa bahwa hal ini menjadi sangat mengganggu bukan hanya untuk sy scr pribadi, namun juga utk hub prtemanan dan pekerjaan. sy mencoba ke profesional, dan dsitu terdiagnosa bahwa tingkat stress saya tinggi, depressi sangat tinggi dan anxiety sangat tinggi. pelan2 sy dan psikolog saya mengurai permasalahan sy, dan akhirnya sy mendapat sedikit jawaban bahwa anxiety sy muncul karena banyak penolakan dari pihak2 sekitar sy. baik itu yg terjadi di masa lampau maupun skg. minimnya apresiasi dari atasan, lingkungan kerja dgn persaingan tdk sehat, pertemanan toxic, kondisi keluarga yg tidak ideal, hal2 tsb yg mendukung dan menjadi trigger munculnya anxiety. minimnya tidur yg berkualitas, pikiran2 yg seharusnya tdak muncul, dan hal2 lainnya yg mengganggu menjadi gambaran munculnya kecemasan2 yg tidak sehat. adakah diantara kalian mengalami hal serupa?

Accepted Answer

Tetep semangat ya. Aku dulu pernah sih mengalami kecemasan dan depresi berat. Aku gak pernah didiagnosis, tapi aku sendiri ambil kuliah di psikologi, jadi kalau melihat ke belakang, aku yakin gejalaku sudah bisa sampai menegakkan diagnosis.

Kalau yang paling mengganggu keseharian dulu itu aku sampai takut sekali kalau harus berhadapan dengan pramuniaga. Padahal kalau mau beli barang kan mau gak mau surveinya sambil tanya tanya yang jual juga kan? Nah isi kepalaku tuh bisa sibuk dengan pikiran "aku salah gak ya ngomong gini?" "kalau salah, mereka bakal anggap aku kayak gimana ya?". Kegelisahan itu bisa sangat intens sampai aku bisa memutuskan utk batalin janji, gak datang ke suatu tempat, dan memilih "ngumpet" di kamar saja. Aku bersyukur banget dlu tetep ada teman yang bersedia aku repotin buat nemenin aku beli sesuatu atau setidaknya lihat lihat barang.

Kendala lain yang aku rasain itu susah ngendaliin emosi. Umumnya yang jadi trigger aku adalah konteks konteks keluarga, jadi kalo ada acara kumpul keluarga seperti pas hari raya, aku bisa ngalamin kondisi tsb. Biasanya aku merasa dadaku penuh, seperti ada yang mau tumpah. Jadi di saat orang lain bisa fokus berinteraksi satu sama lain, kepalaku sibuk mensugesti diri utk bertahan tidak nangis atau marah. Seingatku ini juga intens, karena sampai di tahap kalau aku coba ngomong, suaraku tercekat di tenggorokan.

Kalau sekarang aku sudah sangat jauh lebih stabil, jauh lebih tenang, dan sudah bisa merasa nyaman dengan diriku sendiri. Aku gak sempat minta bantuan ke psikolog, tapi kurasa backgroundku belajar ilmunya jadi bekal tersendiri untuk membantuku memproses diri. Tentunya ada peran teman dan mantan pacar yang akhirnya menciptakan momen kondusif bagiku utk berproses dan berefleksi dengan pengalaman di masa lalu. Menurutku pengalaman kerjaku sbg pendamping korban kekerasan juga membantuku memahami situasi toxic keluargaku sih.

Ini juga bukan suatu proses yang ajaib. Kalau dibandingkan dengan teman seangkatan, masa kuliah S1ku lebih lama dan aku menarik diri habis habisan sampai gak ikut organisasi dan acara apapun. Saat itu aku memang sedang struggling dengan situasi keluarga dan aku memilih fokus pada masalahku. Mungkin positifnya adalah aku jadi bisa selesai dengan diriku sebelum aku menyentuh usia kepala tiga (gak berlarut-larut).

Apapun itu, kita punya perjalanan dan timing kita masing-masing sih. Gak perlu terlalu membandingkan diri dan cukup fokus saja pada diri sendiri. Kalau memang baru bisa menyempatkan diri sekarang juga gak masalah.

Kalau bagiku, momok persoalanku adalah peran ayah yang sangat dominan dan mendikte. Dia bikin nuansa pengasuhan anak jadi penuh aturan, penghakiman, dan tidak boleh salah sedikit pun. Dia juga gak mau dengerin pendapat orang lain. Dinamika bapak ibuku juga timpang. Jadi bener bener gak ada "orang di atas bapakku". Pengalamanku dengan dia jadi templateku memaknai hubungan ku dengan orang lain dan hubunganku dengan lingkungan. Aku jadi merasa harus memenuhi setiap tuntutan yang diminta dunia dan selalu mengkhawatirkan penilaian orang lain, karena berkaca dari bapakku, kalau ada salah sedikit, dia bisa melabel anak yang jelek jelek sampai bikin mikir kalau kita itu gak pantas buat disayang dan dihargai. Aku kan gak mau ditolak dan dikucilkan sama seluruh orang di muka bumi. Capek banget sih di fase itu. Sekarang aku cuma bernafas lega karena semua itu sudah berhasil aku lampaui.

Answer

haiii ka veaa!!! kenalin aku Dara aku juga didiagnosa anxiety. beberapa kali juga ngerasain panic attack. kurleb aku sama kaya ka vea, gampang ovt banyak hal, sometimes insecurity juga dominan banget, aku curiga sama banyak hal. backgroundku kurleb sama juga karena adanya "penolakan" dan kurangnya "apresiasi" atas diri kita. aku juga rutin konsul sama psikolog. satu hal yang membantuku, adalah saat aku ovt, insecure, dan curiga, sesuai saran psikolog aku nulis detail perasaanku saat itu, kaya nulis diary gitu, tapi detail ada tanggal, jam, detail perasaan, ekspresi wajah, dan apa yang terjadi saat anxietyku muncul ditutup dengan berapa lama kaka ngerasain anxiety itu muncul dan how it stop. it works ka! asal kita telaten dan konsisten, karena dgn nulis kaya gitu, tanpa sadar kita sudah menyalurkan beban pikiran kita. nah saat kita tenang kita baca lagi catatan itu, supeaya kita bisa manage perasaan kita saat anxiety muncul. btw kaka sampau ngerasain panic attack juga ga ka?

Answer

sedihh 🙁,tetep positif thinking ya kak + saingan kerjanya yg semangat kl sekedar kata biarin aja kak biar jadi bahan bakar buat diri tapi kl dh nyakitin fisik ya 😩bales dong( egois boleh tapi jgn over), mungkin bisa sekali kali manjain diri buat relaxing 🧋aku kl soal kerjaan blm sih kak (krn emang blm kerja) tapi kl keluarga ama relationship yg toxic may be aku lagi mengalami, pertemanan alhamdulillah engga( soalnya ga punya temen) . itu aja sih🦄semoga ngga kesepian kak sis luvvv

Answer

Tekanan pekerjaan berkaitan deadline bener bener bikin cemas, tidur ga nyenyak, tidur kepikiran kerjaan, berasa diburu buru target. Efeknya ngaruh banget ke mental dan cara berfikir, jadi pribadi yang makin sensitif dan moody. Pernah dikondisi seperti ini sih kak. Biasanya lebih ke adaptasi, cara kontrol mood dan pikiran alam bawah sadar. Yang paling penting adalah memahami diri sendiri, evaluasi apa alasan ambil kerjaan, goal yang akan diraih. Misal uda ga kuat lebih ke cari pekerjaan yang sesuai degn pace versi diri kita sendiri. Cari lingkungan yang lebih baik. Sebenarnya tantangan sih tp ketika sudah tidak mampu baiknya cari yang lebih baik agar tidak semakin stress